[1st Event] Ar’s Vita

ars-vita

a special appetizer by tsukiyamarisa

written for Fanfictions’ Cafe 1st Event

based on prompt #7 – Disappear

Vignette | Angst, Psychology, Life | 17

.


What happened at Ar’s Vita Cafe?


.

Pukul enam pagi.

Arden Blackwood selalu tiba di kafenya pada jam itu, tangan sibuk membuka gerendel pada pintu. Mendorongnya terbuka, diikuti dengan denting bel yang lembut menyapa di tengah kesunyian. Belum ada seorang pun karyawan yang datang, namun sebagai manajer sekaligus pemilik, lelaki berambut cokelat cepak itu merasa kalau ia perlu datang lebih awal.

Ar—begitu ia biasa disapa—akan memulai harinya dengan melarikan jemari di atas beberapa meja bundar. Tersenyum kecil kala menyadari tak ada debu yang singgah, sebelum beralih menuju konter panjang tempat barista bekerja. Pagi adalah waktu ideal untuk secangkir kopi, jadi itulah yang ia lakukan. Menyeduh kopi hitam tanpa susu untuk dirinya sendiri, menggumamkan nada-nada rendah sampai denting bel kembali terdengar.

Pintu terbuka, dan yang muncul berikutnya adalah Gris. Lelaki bertubuh pendek—atau mungkin memang Ar saja yang jangkung—dengan wajah kekanak-kanakan. Ia adalah pegawai pertama di tempat ini, satu-satunya karyawan yang tidak memanggil Ar dengan sebutan Mr. Blackwood. Kehadirannya selalu diiringi senyum, selagi ia menurunkan kursi-kursi yang ditata terbalik di atas meja dan bertanya:

“Harus menungguku datang dulu, nih?”

Kalimat itu hanya berarti satu, bahwa Gris baru saja meminta Ar untuk membantunya merapikan kafe. Satu yang biasanya akan ditimpali dengan kedikan bahu, kendati Ar toh akan lekas-lekas mereguk kopinya hingga tandas sebelum bergerak menurunkan kursi.

Don’t want to work alone, Grisham.”

Ada sedikit keusilan yang tersimpan di balik perkataan itu, lantaran Ar tahu persis bahwa Gris tak suka dipanggil menggunakan nama lengkapnya. Suatu perkara yang membuat Ar dihadiahi pukulan ringan di bahu, selagi keduanya sedikit bertukar tawa dan obrolan remeh mengenai Ar’s Vita—nama kafe itu. Hal ini biasanya berlangsung selama dua puluh menit hingga setengah jam lamanya, karena tepat setelah itu, bunyi bel akan terdengar bersahutan—tanda pegawai yang lain telah datang.

Jujur saja, Ar tidak begitu dekat dengan para pekerjanya yang lain. Ia cukup tahu bahwa gadis berambut ikal kemerahan itu senantiasa duduk di balik meja kasir, lelaki bersurai panjang pirang itu adalah barista, dan tiga orang sisanya adalah para pelayan. Gris sendiri adalah pegawai paling fleksibel; dalam artian ia bisa melakukan apa saja dan membantu bagian mana saja. Maka, bisa dibilang kalau pukul tujuh pagi adalah waktu bagi Ar untuk duduk di meja paling pojok, tempatnya menghabiskan waktu sekaligus mengawasi suasana di kafenya.

Hari-hari seorang Arden Blackwood berlangsung seperti itu, konstan dan sedikit membosankan. Namun, Ar juga tidak pernah berusaha untuk memikirkan hal lain atau melakukan sesuatu yang baru. Ia senang dengan rutinitasnya….

…sampai suatu pagi, ada sedikit perubahan kecil yang mengusiknya.

.

.

.

Pukul enam pagi.

Arden Blackwood selalu tiba di kafenya pada jam itu, tangan sibuk membuka gerendel pada pintu. Mendorongnya terbuka, diikuti dengan denting bel yang lembut menyapa di tengah kesunyian. Belum ada seorang pun karyawan yang datang, namun sebagai manajer sekaligus pemilik, lelaki berambut cokelat cepak itu merasa kalau ia perlu datang lebih awal.

Hari ini pun tak jauh berbeda dari kemarin, setidaknya sampai bagian Ar menyeduh kopi hitam favoritnya dan mulai meneguk isinya. Kening mengernyit karena rasa kopi itu lebih pahit dari biasanya—padahal ia juga bukan penyuka manis—sementara jarum jam bergerak maju dan tidak ada tanda-tanda kemunculan Gris.

Ar bahkan mulai berpikir apakah ia harus bekerja menata kursi-kursi itu seorang diri, manik berkelebat antara pintu kafe dan cangkir kopinya yang tak lagi berisi. Lima belas menit ia melenceng dari jadwal biasanya, dan bohong kalau otak lelaki itu tidak mengajukan puluhan tanya. Karena rupa-rupanya, Gris belum pernah datang terlambat barang sekali pun dan—

Ting!!

 

Sorry.

Menginterupsi kekhawatiran Ar, Gris sekonyong-konyong muncul dari balik pintu kafe. Hadirkan sedikit rasa lega, yang lekas pudar kembali tatkala iris cokelat gelap si manajer telah bertemu pandang dengan rupa lelah milik Gris. Tidak ada senyumnya yang biasa di sana, pun kalimat-kalimat canda atau obrolan remeh. Yang ada hanyalah Gris yang sedang buru-buru membalikkan kursi, enggan membuka konversasi seraya raut muramnya makin menjadi.

“Gris?”

Yeah, Mr. Blackwood?

Satu jungkitan alis tercipta di wajah Ar. “You never called me like that.”

Mereka berpandangan sejenak, dan Gris-lah yang memutus kontak mata itu lebih dulu. Ada embusan napas panjang yang ia keluarkan, sementara dirinya berjalan ke balik meja barista dan memunggungi Ar. Tidak menjawab, melainkan memilih untuk bungkam sampai Ar kembali menyuarakan kuriositasnya.

“Ada masalah?”

“Kau ini bosku,” ucap Gris lirih. “Jadi, apa yang kupikirkan ini pasti tidak akan sesuai dengan kehendakmu.”

“Ap—“

Ting!!

 

Kelanjutan dari percakapan itu tak terdengar, tidak karena bel kafe berbunyi lantang beberapa kali diikuti dengan kedatangan para pegawai lainnya. Meninggalkan Ar yang hanya bisa diam dengan pikiran berpacu, selagi Gris bergegas menyapa pegawai lainnya dan memaksakan tingkah seperti biasa.

Namun, lelaki itu tahu kalau ada sesuatu yang tidak biasa.

Ar tahu, karena selama ini, ialah yang senantiasa memperhatikan tiap gerak-gerik karyawannya. Bagaimana mereka bekerja, apa saja kebiasaan-kebiasaan atau kesalahan-kesalahan kecil yang kerap mereka buat. Dan khusus untuk Gris, Ar tahu bagaimana lelaki itu amat mencintai kafe ini. Di matanya, Gris adalah pekerja terbaik. Yang senantiasa menebar senyum, mengingat tiap pesanan dengan sempurna, dan bersemangat membantu pekerja lain.

Apa pun itu, ini adalah kali pertama Ar melihat Gris melayani pengunjung dengan sedikit asal-asalan. Senyumnya tidak tulus, dan di saat ia tidak sibuk pun, ia memilih untuk melamun. Panggilan dari rekan kerjanya diabaikan, meja-meja kotor dilap dengan asal-asalan. Cukup untuk memancing emosi Ar naik sedikit demi sedikit, sampai akhirnya sang manajer pun memutuskan untuk turun tangan saat kafe telah tutup.

“Apa yang terjadi hari ini, Grisham? Kau ada masalah?”

Tanggapan Gris adalah tatap datar dan kedikan bahu, diikuti dengan satu kalimat yang terasa bagai seember air es diguyurkan ke atas tubuh Ar.

“Aku bosan. Aku ingin semua ini—“

.

.

.

Pukul enam pagi.

Arden Blackwood selalu tiba di kafenya pada jam itu, tangan sibuk membuka gerendel pada pintu. Mendorongnya terbuka, diikuti dengan denting bel yang lembut menyapa di tengah kesunyian. Belum ada seorang pun karyawan yang datang, namun sebagai manajer sekaligus pemilik, lelaki berambut cokelat cepak itu merasa kalau ia perlu datang lebih awal.

Kendati hari ini, ia amat malas datang lebih awal.

Oh, Ar punya alasan tentu. Dan agaknya, alasan itu makin menguat ketika bel kafe berdenting. Menampakkan seorang gadis berambut ikal kemerahan—si penjaga kasir—dengan kening berkerut, bingung karena kursi-kursi belum diturunkan sementara bosnya sudah memasang tampang galak.

Eum, Mr. Blackwood….”

“Kau saja yang turunkan kursi-kursi mulai hari ini,” perintah Ar sambil menyedekapkan kedua lengan, mata memicing ke arah nametag yang ada di seragam gadis itu. “Tolong ya, Carrie.”

Gadis itu membelalak, mungkin lantaran tak biasa disapa secara langsung oleh si manajer. Semua orang tahu kalau Ar itu paling malas mengingat-ingat nama orang, sehingga wajar saja kalau sedikit rona mulai muncul di pipi pucat sang gadis. Kata-katanya terbata, seraya ia bergerak untuk melakukan perintah seorang Arden Blackwood.

Walau—tentu saja—Ar tidak memerhatikan semua itu.

Alih-alih, ia berjalan menuju ke balik konter. Berdiri di sana dan membiarkan pikirannya melayang-layang, membayangkan apa tepatnya yang menjadi masalah Gris. Oke, terkadang, ia sendiri pun juga bosan dengan kesehariannya ini. Ada kalanya ia ingin duduk saja di flatnya sembari menonton televisi, pergi mengunjungi kafe hanya sesekali. Tetapi, sebosan-bosannya ia, Ar tidak pernah berpikiran untuk…

—berhenti.

Eh?

Aku ingin berhenti.”

“Tapi kena—“

“Mr. Blackwood, bisa tolong minggir sebentar?”

Mengerjap, Ar menoleh dan mendapati si barista yang tengah menunjuk-nunjuk mesin pembuat kopi di hadapan Ar. Ekspresinya terlihat sedikit tidak enak hati, tetapi ketika menyadari bahwa Ar’s Vita telah mulai didatangi konsumen, mau tak mau Ar pun ikut merasa tak enak hati. Kenapa sih dia ini, melamunkan kata-kata Gris kemarin sampai merasa bisa mendengar suaranya? Toh, Gris sudah berkata kalau ia mau berhenti….

“Hari ini, apa Gris sakit?”

Si barista yang kini sedang meracik latte bertanya dengan nada ringan, namun Ar hanya mengedikkan bahu. Enggan menjawab, karena ia tahu pasti bahwa Gris tidak akan datang hari ini.

Oh, ralat.

Gris tidak akan pernah datang lagi.

.

.

.

Tapi, hari terus berjalan.

Dan lama-lama, Ar masih belum bisa berhenti memikirkan keputusan Gris.

Layaknya ada sebuah pertanda buruk, firasat kelam, dan Ar hampir seratus persen yakin kalau—

.

.

.

Pukul enam pagi.

Arden Blackwood selalu tiba di kafenya pada jam itu, tangan sibuk membuka gerendel pada pintu. Mendorongnya terbuka, diikuti dengan denting bel yang lembut menyapa di tengah kesunyian. Belum ada seorang pun karyawan yang datang, namun sebagai manajer sekaligus pemilik, lelaki berambut cokelat cepak itu merasa kalau ia perlu datang lebih awal.

Well, datang lebih awal untuk apa tepatnya?

Hari ini, tidak ada gerendel pintu yang menunggu untuk dibuka. Tak ada denting bel yang terdengar, pun aroma biji kopi dan kursi-kursi yang menanti diturunkan. Tidak, semua itu tak lagi ada dalam jangkauan pandang Ar. Yang ada hanya kekosongan, kehampaan, serta perasaan bahwa semuanya baru saja tercerabut dari hidupnya.

Karena pagi itu, pada pukul enam di hari yang mendung, Ar mendapati dirinya berdiri di hadapan tanah kosong.

Ar’s Vita telah menghilang.

Tinggalkan Ar sendirian, terpaku dalam sunyi. Geming, selagi separuh bagian dari dirinya mempertanyakan arti di balik semua ini. Hujan gerimis merinai turun lima belas menit kemudian, namun Ar tetap diam di sana. Menunggu, berharap para karyawannya satu persatu akan muncul, tetapi nihil yang ia dapatkan. Layaknya Gris, mereka semua menghilang dari hidup Ar begitu saja. Tanpa jejak, tanpa penjelasan masuk akal. Seakan Ar’s Vita hanyalah sebuah permainan, yang bisa mereka tinggalkan kala bosan menyapa.

Lantas, bagaimana dengan Ar?

Sebagai manajer, semua ini berada di luar kendalinya. Ar sungguh-sungguh tak tahu harus berbuat apa, berdiri diam di tengah guyuran hujan yang lama-lama menghadirkan gigil kedinginan. Rasa-rasanya ia membeku, mati rasa, dan tak dapat lagi merasakan perihnya luka. Aneh, karena seharusnya ia panik atau berteriak kebingungan, namun yang dilakukannya hanyalah membiarkan semua ini berlalu.

Dan ditemani kata-kata terakhir Gris yang masih membekas di ingatannya….

“Aku bosan. Aku ingin semua ini berhenti.”

…ia pun mengembuskan napas.

.

.

.

Pukul enam pagi lagi.

Arden Blackwood selalu tiba di kafenya pada jam itu, tangan sibuk membuka gerendel pada pintu. Mendorongnya terbuka, diikuti dengan denting bel yang lembut menyapa di tengah kesunyian. Belum ada seorang pun karyawan yang datang, namun sebagai manajer sekaligus pemilik, lelaki berambut cokelat cepak itu merasa kalau ia perlu datang lebih awal.

Tetapi, hari ini, ia tidak datang.

Bukan, bukan karena kafenya baru saja menghilang.

Melainkan karena pagi ini, tepat pukul enam, orang-orang berseragam kepolisianlah yang datang mengunjunginya. Mengerubungi dirinya yang hanya bisa berbaring dalam diam, beralaskan merah yang menggenang. Ada pekikan dan keributan yang terdengar di latar belakang, tetapi layaknya Arden Blackwood yang hobi memasang ekspresi datar di kafe, hari ini pun ia berekspresi serupa.

Karena Ar’s Vita tak lagi ada.

Dan itu artinya….

.

.

.

“Bagaimana?”

“Ia tewas di tempat. Penyebab kematian diduga karena meloncat dari flatnya. Yah, beberapa tetangganya pun berkata kalau ia sudah lama mengurung diri dan tak benar-benar waras. Bukan hal baru, ‘kan?”

.

.

.

fin.

 

Note:

  • Sedang mencoba nulis dengan gaya repetitif ehehehe, iya itu disengaja kok paragrafnya berulang seperti itu.
  • Ar’s Vita; Vita berarti eksistensi, sehingga kafe itu sendiri adalah lambang eksistensi Ar.
  • Nope, Ar’s Vita itu tidak benar-benar ada. Arden Blackwood yang asli punya mental illness—semacam schizoprenia—yang membuat dia berhalusinasi. Sebenarnya dia udah lama depresi, dan urutan scene di atas menggambarkan bagaimana dia akhirnya mengambil keputusan untuk melompat.
  • So do Gris, Carrie, and other characters in Ar’s Vita. Mereka tidak nyata, dan menghilangnya mereka—sekaligus kafe itu sendiri—menggambarkan keinginan hidup Ar yang lama-lama surut.
  • Kalimat terakhir (obrolan para polisi dan orang-orang yang menemukan Ar tewas) adalah sarkasme. Hope you catch it!
  • Thanks for reading, sorry for making you confused! Reviews and comments are expected! ❤

5 thoughts on “[1st Event] Ar’s Vita

  1. KAK AMEEEEERREE KEREN BANGET WAH INI MULUTKU KEBUKA LEBAR BANGET~ *lalat lansung tersedot xD
    sumpah, awalnya emang bingungin gitu, kupikir si gris ini temen karibnya, atau malah aku pikir si ar suka sama gris (kupikir ar rada ga normal gitu)
    dan yah aku ga nyangka ternyata jadinya malah begini~ plot twistnya beneran ga disangka~ wah udahlah ini keren banget uhuk :” sampe gabisa berkata-kata :”

    keep nulis ya kak amer ^^

    Like

  2. ASTAGA
    ASTAGA
    ASTAGA
    KUKIRA DIA ADA BROMANCE SIKIT-SIKIT DENGAN GRIS

    Astaga kukira dia buka kafe dengan tadinya sikap dia baik makanya Gris baik sama dia, dan dia punya pegawai-pegawai teladan, trus lama-lama mereka berhenti kerja di tempat itu karena keliatannya bos mereka juga mulai kehilangan gairah untuk buka kafe.

    Dan setelah kulihat bahwa 3 bagian cerita itu dimulai dengan paragraf yang sama persis, kukira dia ada short term memory entah mengapa. Taunya dia punya schizoprenia—KEBETULAN BANGET KEMAREN AKU ABIS BACA DI WIKI TENTANG PENYAKIT MENTAL ITU

    Seriusan deh, aku suka banget kamer, bantu aku:”””””””””””””””””””””)))
    LIKE KAMER!

    Zyan

    Like

Please pay here